Selasa, 08 Desember 2009

Enteurprenship Guru Professional

cari dan gali apa yang akan anda cari di blog Om Smile

Entrepreneurship adalah jiwa kewirausahaan yang dibangun untuk menjembatani antara ilmu dengan kemampuan pasar. Entrepreneurship meliputi pembentukan perusahaan baru, aktivitas kewirausahaan juga kemampuan managerial yang dibutuhkan seorang entrepreneur.
Konsep Kewirausahaan
      Kini adalah masa kewirausahaan. Para wirausahawan mengendalikan revolusi yang mentransformasi dan memperbaharui perekonomian dunia. The new economy ditandai oleh budaya kewirausahaan yang diaplikasi ke dalam aktivitas primer dan pendukung. Entrepreneurship merupakan esensi dari usaha bebas simetrik dan a-simetrik karena penciptaan dan kelahiran bisnis baru dalam industri yang telah ada dan industri baru memberi vitalitas bagi ekonomi pasar.
      Dalam sebuah modul Pelatihan Wirausaha Baru (Irfani, 1998: 18) ditekankan bahwa secara harfiah penggalan kata “usaha” dalam istilah “kewirausahaan” itu lebih bernotasi “effort” atau “upaya”, sehingga jangan dikonotasikan sebagai “bisnis” belaka. Jiwa da semangat kewirausahaan tidak hanya harus dimiliki oleh para pengusaha (business-man) saja, melainkan sangat perlu dimiliki oleh profesi dan peran apa saja dalam berbagai fungsi yang berbeda, apakah itu profesi guru/dosen, murid/mahasiswa, dokter, tentara, polisi, dan sebagainya.
      Secara etimologik, perkataan kewirausahaan (entrepreneur) berasal dari kata entrependre (bahasa perancis) atau to undertake (bahasa inggris) yang berarti melakukan. Dengan demikian, kewirausahaan bukanlah bakat dari lahir atau milik etnis/suku tertentu. Kewirausahaan bukanlah mitos, melainkan realistik atau construct yang dapat dipelajari melalui proses pembelajaran, pelatihan, simulasi, dan magang secara intent. Wirausaha cenderung memiliki sifat avonturisme atau selalu terdorong untuk melakukan hal-hal baru yang menantang dengan keyakinan yang dimilikinya. Yang menentukan apakah seseorang akan menjadi seorang wirausaha (entrepreneur) atau bukan adalah perbuatan dan tindakan. Bukan bawaan, bukan karena bakat, bukan karena sifat-sifatnya, melainkan karena tindakan. Seorang wirausahawan (entrepreneur) adalah seseorang yang memiliki visi dan intuisi yang realistik sekaligus seorang implementator yang handal dalam penguasaan detail-detail yang diperlukan untuk mewujudkan visi.
      Secara terminolgik, David E. Rye dalam bukunya The Vest-Pocket Entrepreneur (1996) mempresentasikan kewirausahaan sebagai pengetahuan terapan dari konsep dan teknik manajerial yang disertai risiko dalam mentransformasi sumberdaya menjadi output yang memiliki nilai tambah tinggi (value added).
      Pertumbuhan kelompok wirausaha secara integral tidak terlepas dari lingkungan. Jika lingkungan kurang atau tidak mendorong tumbuhnya kelompok wirausaha, maka perkembangan kewirausahaan akan meniscaya. Wirausaha akan tumbuh jika lingkungan  menghargai orang-orang yang kreatif dan menyediakan sarana dan prasarana agar kreativitas itu dapat wujud guna memenuhi kebutuhan masyarakat lingkungan. Secara ekonomik, seorang wirausaha adalah seorang yang berkemampuan mengkomparasi “sumberdaya” untuk menghasilkan suatu output. Kelompok wirausaha dapat memberikan multiplier effect bagi lingkungannya, karena seorang wirausaha senantiasa memberdayakan (empowerment) lingkungan dalam setiap aktivitas yang dilakukannya. 
Pengertian Wirausahawan
      Wirausahawan adalah seorang katalisator. Mereka adalah orang-orang yang melakukan tindakan sehingga suatu gagasan bisa terwujud menjadi suatu kenyataan. Mereka menggunakan kreativitasnya untuk senantiasa melakukan pengembangan yang bersinambungan.  Wirausahawan didefinisikan oleh  David E. Rye (1996: 3-4)  sebagai seorang yang mengorganisasikan dan mengarahkan usaha dan pengembangan baru, memperluas dan memberdayakan suatu perusahaan/organisasi, untuk memproduksi produk baru atau menawarkan jasa baru kepada pelanggan baru dalam suatu pasar yang baru.
      Dalam bahasa Joseph Schumpeter, wirausahawan didefinisikan sebagai orang yang memperbaiki orde ekonomi yang sudah ada dengan memperkenalkan produk (barang dan jasa) baru, dengan menciptakan organisasi baru, atau dengan mengeksploitasi bahan baku baru (Bygrave, 1996: 1). Definisi lain tentang wirausahawan yang dipresentasikan oleh William D. Bygrave adalah  orang yang memperoleh peluang dan menciptakan suatu organisasi untuk mengejar peluang itu (Bygrave, 1996: 2).
      Karakteristik yang dimiliki oleh seorang wirausaha memenuhi syarat-syarat keunggulan bersaing bagi suatu perusahaan/organisasi, seperti inovatif, kreatif, adaptif, dinamik, kemampuan berintegrasi, kemampuan mengambil risiko atas keputusan yang dibuat, integritas, daya-juang, dan kode etik niscaya mewujudkan efektivitas perusahaan/organisasi.
      Dengan demikian, seorang wirausahawan mengetahui berbagai fungsi yang terkait dalam mengelola suatu perusahaan/organisasi, seperti fungsi manajemen, keuangan, pemasaran, produksi, operasi, sumberdaya manusia, organisasi dan kelembagaan. Wirausahawan adalah seorang yang berorientasi prestasi dan meyakini bahwa mereka menguasai kemampuan sendiri. Berikut ini dipresentasikan profil seorang wirausahawan:


 Dengan demikian, tentunya kita mengharapkan motivasi kewirausahaan dapat membudaya dan menjadi salah satu konsep perekonomian nasional. Sesungguhnya, kewirausahaan memiliki potensi untuk itu. Potensi tersebut ditandai oleh beberapa keunggulan komparatif (comparative advantages) dibandingkan dengan konglomerasi.         Di masa mendatang, para wirausahawan dituntut untuk mampu mentransformasikan keunggulan kompetitif nasional. Adapun keunggulan komparatif tersebut adalah:
  1. Entrepreneur memiliki legitimasi moral yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan dan menciptakan kesempatan kerja. Karena target entrepreneur adalah masyarakat kelas menengah dan bawah, maka entrepreneur memiliki peran penting dalam proses trickling down effect.
  2. Seorang entrepreneur memiliki visi bisnis, intuisi pengelolaan sumber daya, adaptable terhadap perubahan lingkungan dan kemampuan untuk berkerja sama secara integral.
  3. Pengembangan kewirausahaan mendapat dukungan penuh dari banyak pihak, termasuk cendikiawan dan decision maker dalam pembangunan. Keberadaan Inpres No. 4 Tahun 1995 tentang gerakan nasional memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan, mencerminkan perhatian yang besar terhadap pengembangan kewirausahaan.
            Sangat mendesak untuk mengoptimalkan keunggulan komparatif tersebut sehingga menjadi “senjata” untuk meraih keunggulan kompetitif. Jangan sampai keunggulan komparatif tersebut justru menjadi bumerang.
            Kewirausahaan memiliki proses yang saling terintegrasi satu dengan lainnya, meliputi seluruh fungsi, aktivitas, dan tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptakan organisasi untuk merealisasikannya. Proses membentuk faktor-faktor tak-samaan yang saling terkait yang membentuk domain  wirausahawan.

Pengambilan Keputusan untuk Berwirausaha
Setiap orang memiliki ide untuk berkreasi namun hanya sedikit orang yang tertarik untuk terus melanjutkan sebagai seorang wirausahawan. Berikut ini beberapa paparan yang menyebabkan seseorang mengambil keputusan untuk berwirausaha:
1.         mengubah gaya hidup atau meninggalkan karir yang telah dirintis. Hal ini biasanya dipicu oleh keinginan untuk mengubah keadaan yang statis ataupun mengubah gaya hidupnya karena adanya suatu hal negative yang menimbulkan gangguan.
2.         Adanya keinginan untuk membentuk usaha baru. Faktor yang mendukung keinginan ini antara lain adalah budaya juga dukungan dari lingkungan sebaya, keluarga, dan partner kerja. Dalam budaya Amerika dimana menjadi bos bagi diri sendiri lebih dihargai daripada bekerja dengan orang lain. Hal ini lebih memacu seseorang untuk lebih mengembangkan usaha daripada bekerja untuk orang lain. Selain itu, dukungan pemerintah juga menjadi faktor yang tak kalah penting. Dukungan ini dapat terlihat melalui pembangunan infrastruktur, regulasi yang mendukung pembentukan usaha baru, stabilitas ekonomi dan kelancaran komunikasi. Faktor selanjutnya adalah pemahaman terhadap pasar. Tentu saja hal ini menjadi penting terutama dalam meluncurkan produk baru ke pasaran. Selanjutnya adalah peranan dari model yang akan mempengaruhi dan juga memotivasi seorang wirausahawan. Faktor yang terakhir adalah ketersediaan finansial yang akan menunjang usaha.
Pengertian Wirausahawan
      Wirausahawan adalah seorang katalisator. Mereka adalah orang-orang yang melakukan tindakan sehingga suatu gagasan bisa terwujud menjadi suatu kenyataan. Mereka menggunakan kreativitasnya untuk senantiasa melakukan pengembangan yang bersinambungan.  Wirausahawan didefinisikan oleh  David E. Rye (1996: 3-4)  sebagai seorang yang mengorganisasikan dan mengarahkan usaha dan pengembangan baru, memperluas dan memberdayakan suatu perusahaan/organisasi, untuk memproduksi produk baru atau menawarkan jasa baru kepada pelanggan baru dalam suatu pasar yang baru.
Para Guru, menurut hemat saya memang sangat perlu diberikan pembekalan tentang hal seputar dunia kewirausahaan ini agar mereka juga bisa menularkan virus entrepreneur kepada anak didiknya di sekolah masing-masing. Disamping itu, diharapkan ke depannya nanti, para Guru juga bisa benar-benar menjadi sosok entrepreneur sejati, yang bisa ikut berperan menggerakkan perekonomian negeri ini sehingga tidak muncul lagi kekhawatiran dan keluhan atas dampak berbagai krisis ekonomi. Guru idealnya memang tidak hanya bisa mengajar, melainkan bisa membuktikan bahwa disamping mengajar, mereka juga bisa melakukan apa yang diajarkannya itu.
Pada kesempatan ini pula, di-launching Komunitas Entrepreneur Guru Indonesia (EGI) oleh Miss Christine Wu, selaku Founder EGI, yang disambut sangat antusias oleh para Guru ini. Diharapkan dengan terbentuknya Komunitas EGI ini, para Guru bisa memperoleh berbagai informasi seputar kewirausahaan, dan makin banyak Guru yang termotivasi mau menjadi entrepreneur, meskipun mereka tetap menjalankan pengabdiannya di dunia pendidikan.
Tahun ajaran 2009/2010 segera tiba. Maka tibalah saatnya kepada para korps Oemar Bakrie untuk menerima siswa siswi baru dan melepas sebagian siswa siswa yang lainnya. Nah. Kebahagiaan seorang guru adalah jika melihat para muridnya berhasil di masa yang akan datang. Di balik semua keberhasilan tersebut, korps guru tersebut tidak pernah mengharapkan imbal jasa atau materi dari murid-muridnya yang telah berhasil.
Namun, seringkali kita melupakan jasa-jasa para guru tersebut, tatkala kita sudah sukses dalam dunia kita. Layaknya seorang pelatih sukses, guru mungkin cukup puas dengan senyuman saat ‘mendengar’ anak didiknya sukses di dunia karir. Namun saat ini, patut disyukuri adanya niat tulus dari pemerintah dalam memperhatikan nasib guru. Setidaknya ini telah diamanahkan dalam undang-undang bahwa anggaran pendidikan itu harus 20 persen dari total anggaran pembangunan. Artinya, ini nilai yang cukup luar biasa jika dilaksanakan
Profesionalisme guru adalah prasyarat peningkatan mutu pendidikan, tanpa profesionalisme guru jangan berharap mutu pendidikan akan meningkat. Oleh karena itu upaya peningkatan profesionalisme guru adalah prioritas pembangunan pendidikan. Namun sayangnya program peningkatan mutu pendidikan tersebut masih sebatas wacana di forum seminar, lokakarya, penataran dan sejenisnya.
Sejalan dengan upaya peningkatan mutu dan kesejahteraan proses sertifikasi guru guna menuju guru profesional banyak mengundang polemik.Mulai dari “kecemburuan” proses penilaian sertifikasi yang belum berkeadilan, kurang transparan serta banyaknya aksi kecurangan guru agar dapat lolos sertifikasi. Hal itu tidak lepas dari belum profesionalnya guru, sehingga saat terjadi penilaian timbul keirian,  serba gagap, terburu-buru dan berbagai upaya manipulasi guna dapat memenuhi syarat penilaian.
Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tertulis bahwa guru disebut baik (professional) apabila berkualifikasi S1/D4. Mempunyai kompetensi kepribadian, pedagogik, professional, dan sosial yang memadai, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional.Meski infrastruktur pembelajaran dijamin, mulai gedung sekolah dan fasilitas pendukung lengkap namun bila tenaga pengajarnya tidak profesioanal apalah jadinya.
Berdasar data Balitbang Depdiknas tahun 2003 bahwa kondisi guru TK baru 12.929 (9,43 %) dari total 137.069 orang yang sudah memiliki kualifikasi standar mengajar. Untuk guru SD 625.710 (50,67 %) dari total 1.234.927 orang, guru SLTP 299.105 (60.08 %) dari total 466.748 orang, guru SLTA 238.028 (63,02 %) dari total 377.673 orang dan dosen perguruan Tinggi (PT) 101.875 (48,46 %) dari 210.210 orang.Tahun 2004 dari 2,7 juta guru menunjukkan ketidak sesuaian dalam mengajar cukup memprihatinkan.
Guru SD 66,11 %, SMP, 39,99 % dan guru SMA sebanyak 34,08 %. Adapun secara umum terdapat 15,21 % guru dari berbagai jenjang pendidikan dasar dan menengah tidak berkompeten.  Sedang tahun 2006/2007 kelayakan guru mengajar untuk tingkat SD negeri 15,62 % SD Swasta 29,61 %, SMP Negeri 62,13 % SMP Swasta 61,57% dan SMA Negeri 85,95 % SMA Swasta 82,94%. Ketidaklayakan mengajar prosentasi tertinggi pada jenjang SD. Maka upaya sertifikasi merupakan bentuk perwujudan menuju guru yang berkompeten, penuh tanggung jawab, berkualitas menuju profesional. Namun upaya sertifikasi akan menjadi tidak berarti apabila tidak didukung sungguh oleh guru itu sendiri untuk mau berubah.
Woolfolk (2004) dalam bukunya Educational Psychology, guru profesional tidak hanya memahami materi yang mereka ajarkan melainkan mereka juga tahu menghubungkan setiap materi dengan konteks kehidupan sehari-hari, serta mengetahui bagaimana membuat peserta didik tetap aktif dan bersemangat untuk belajar. Karena bagian dari kehidupan sosial peranan guru dalam berinteraksi, berkomunikasi dengan siswa, sesama guru, tenaga kependidikan, orang tua/wali dan masyarakat sekitar sangat diharapkan. Sehingga konteks zoon politikon (makhluk sosial) menurut Aristoteles selalu diaktualisasikan oleh sosok guru profesional. Bila keempat komponen kompetensi guru secara holistik benar teraktualisasi, penulis yakin keprofesionalan guru menjadi riil.  Sebab antar komponen saling terintegrasi, berinteraksi, mendukung demi sebuah kualitas mutu.
Untuk berkompeten di era global seorang guru harus mulai mengikuti tren pendidikan mutakhir. Trend IT (Informasi Tekhnologi) dengan fasilitas digital dan dukungan internet sebagai fasilitas belajar menjadikan kebutuhan wajib. Konsep pembelajaran pun harus berubah. Perubahan paradigma tidak hanya di ITnya saja, namun guru sebagai salah satu fasilitator pembelajaran juga harus berubah diri. Wajib belajar dan mengembangkan diri. Bila tidak berubah dan tetap stagnan akan tergilas oleh teknologi dan percepatan pengetahuan siswa-siswinya yang sangat melek tekhnologi.Kebutuhkan TIK(Tekhnologi Informasi dan Komunikasi) sudah menjadi kebutuhan bersama. Konsep E-Learning sudah bergulir dan tidak sekedar wacana namun sudah menjadi realita.  Disini akan bersinergi dengan dukungan internet  sehingga muncul pembelajaran secara on line.
Oleh karena itu membudayakan untuk selalu mengembangkan, keinginan untuk memperbaiki diri dan selalu belajar mengikuti perubahan merupakan kebutuhan guru profesional. Namun demikian sikap keprofesionalan tidak juga harus meninggalkan metode pengajaran dan pendidikan berdasarkan pada pola asih, asah dan asuh ( care and dedication based on love). Sebab bangsa yang besar tidak serta merta demi perubahan terus meninggalkan kultur budayanya.
Seorang guru sejati dipanggil untuk membebaskan peserta didik bukan hanya dari ketidaktahuan, tetapi juga membebaskan peserta didik dari ketergantungan kepada guru. Seorang guru dipanggil untuk membebaskan peserta didik dari ketidaksadaran bahwa sebenarnya peserta didik mempunyai guru sendiri, yakni yang ada di dalam diri sendiri, yang terus membimbing dan memimpin sepanjang hayat. Guru sejati mengajarkan berpikir.Berpikir secara umum diasumsikan sebagai proses kognitif dengan pengetahuan amat diperlukan. Ada nuansa makna antara mengajarkan berpikir dan mengisi pikiran
Mengajarkan berpikir ialah dengan berpikir. Seperti berenang, murid tidak hanya mendengarkan pikiran guru, tetapi terlibat aktif melahirkan ide-idenya. Peran guru dan dukungan lingkungan belajar yang kondusif adalah inti pengajaran berpikir.
Namun di atas semua faktor-faktor di atas guru di zaman sekarang wajib mempunyai satu life skill yang wajib dimiliki yaitu: passion for excellence. Yaitu semangat untuk selalu memberikan yang terbaik dalam keadaaan seburuk apapun. Passion for excellence mungkin hanya akan menyeruak kala seseorang memang benar-benar memiliki dedikasi dan passion dengan pekerjaan/profesi yang tengah dia lakoni – entah sebagai seorang guru, salesman, manajer, entrepreneur atau tukang potong rambut. Inilah sebuah dedikasi yang terbit dari rasa bangga dengan pekerjaan yang kita lakukan, dan dari sebuah keyakinan bahwa bekerja juga adalah sebuah ibadah. Sebuah keyakinan yang mestinya meng-inspirasi kita untuk selalu membentangkan kerja-kerja profesional dalam setiap jejak kehidupan profesional yang tengah kita rajut.



Om Like's UPI

Om Like's UPI
Education Univercity Of Indonesia

Komen disini!!!

Tumpahkan saran dan pendapat mu!

Cari Blog Ini