Jumat, 18 Desember 2009

Tanggung jawab adalah

"Haknya adalah setiap warga Negara mendapat lingkungan hidup yang baik," ujarnya.
TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

Dalam menata kehidupan masyarakat yang lebih berkeadilan, pemerintah SBY melancarkan program penegakkan hukum, yang didasari berbagai bentuk formal peraturan perundangan, berbagai ketetapan dan keputusan. Sudah banyak keputusan dan pengaturan baru diberlakukan, baik dipusat maupun didaerah, dalam bidang ekonomi, hukum dan politik. Tetapi berbagai keputusan dan peraturan malah memicu protes dalam berbagai bentuk yang berbeda. Kenaikkan harga BBM, PILKADA, MOU Aceh, Fatwa MUI, penyelesaian kasus korupsi, penertiban PKL, penyelesaian kepegawaian dan lain sebagainya, ternyata banyak diikuti dengan gelombang protes. Protes dan demo di Jakarta, Bengkulu, Temanggung, Bandung, Medan, Menado dan kota-kota lainnya terjadi hampir disemua daerah. Demo telah terjadi didepan istana, kantor gubernur, gedung DPR dan DPRD, demikian juga ada kantor KPU dibakar, pabrik dikepung karyawannya, mogok kerja, dan lain-lain. Proses reformasi yang masih terus berjalan, ternyata belum mendapatkan titik keseimbangannya. Keputusan dan peraturan baru yang terus bermunculan, menimbulkan gejolak baru dan memperpanjang proses menuju keseimbangan.
Kesepakatan dan keputusan DPR, berupa undang-undang, telah memberikan hak politik kepada masyarakat (yang berhak), melalui pemilu dan pilkada. Undang-undang adalah produk politik, sebagai hasil kompromi antara elit politik, atau antara partai politik. Itulah esensi demokrasi yang didengung-dengungkan saat ini. Demokrasi yang memberikan hak masyarakat dalam turut menentukan pimpinan negara dan pimpinan daerah secara langsung. Tetapi mengapa masih ada yang ribut? Merasa tidak diikut sertakan? Apakah proses menjalankan hak politik tersebut yang keliru, atau memang pengaturannya yang tidak tepat? Atau ada hak lain yang diinginkan masyarakat?
Kita sadari, bahwa kenyataannya tidak semua harapan dan kepentingan masyarakat (social expectation) dapat dituangkan kedalam hukum dan perundangan, ataupun peraturan. Apalagi masyarakat yang dalam proses transisi dan transformasi, mempunyai pandangan dan pengertian yang berbeda dalam memahami demokrasi. Masyarakat ingin terlibat langsung dalam pengambilan keputusan untuk masalah-masalah dalam lingkungan dan kelompoknya. Kalau kita jujur, memang kenyataannya masyarakat hampir tidak pernah diikut sertakan dalam penentuan berbagai rencana dan kebijakan dilingkungannya. Pakar politik menamakan keadaan semacam ini sebagai demokrasi permukaan (thin democracy), demokrasinya elit politik.
Bagaimana pimpinan berbagai lembaga politik, pemerintah dipusat dan daerah, badan usaha milik negara dan swasta, serta lembaga masyarakat lainnya, harus menyikapi keadaan yang demikian? Disatu sisi hukum harus ditegakkan. Disisi lain tidak semua harapan dan kepentingan masyarakat terwadahi dalam peraturan dan perundangan. Bagaimana caranya melayani masyarakat tanpa melanggar peraturan dan perundangan? Tidak bertentangan dengan upaya penegakkan hukum. Bagaimana melayani kepentingan masyarakat tanpa harus berurusan dengan polisi dan jaksa?
Sejak dua dasawarsa yang lalu sebagian besar pimpinan lembaga pemerintah dan dunia usaha telah menerapkan manajemen modern yang mengedepankan prinsip tanggung jawab sosial. Manajemen Corporate Social Responsibility  CSR. Pimpinan organisasi, apapun sifatnya, diharuskan mempunyai pandangan jauh kedepan untuk mempertahankan dan mengembangkan organisasinya. Organisasi tidak lagi sekedar menerapkan prinsip-prinsip ekonomi dan hukum (legal) semata, melainkan mencakup pula prinsip-prinsip tanggung jawab etika dan kepedulian sosial. Dalam prakteknya organisasi modern demikian, kalau dilihat dari piramida cakupan tanggung jawabnya, menempatkan tanggung jawab ekonomi (economic responsibility) justru pada strata yang paling rendah sebagai dasar. Di atasnya diletakkan tanggung jawab hukum (legal), disusul dengan tanggung jawab etika (ethical responsibility), dan ditempat teratas adalah tanggung jawab kepedulian sosial (philanthropic responsibility). Konsep manajemen yang mengutamakan perhatian pada prinsip-prinsip keseimbangan dalam masyarakat ini sering disebut dengan Pendekatan Kant (Immanuel Kant, 1964). Satu manajemen yang memiliki golden rule, yaitu prinsip yang terbaik untuk kepentingan masyarakat luas
Tetapi bagi para pemimpin organisasi/lembaga publik dinegara kita, saat ini penerapkan manajemen CSR menjadi dilema. Disatu sisi tanggung jawab etika dan kepedulian sosial jarang atau sama sekali tidak, dan sukar diakomodasikan dalam aturan formal. Disisi lain gerakkan penegakan hukum (termasuk berbagai jenis tingkat peraturan) sedang digalakkan. Akibatnya, untuk hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, sukar bagi pimpinan lembaga publik (termasuk BUMN) untuk dapat menerapkan CSR, khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab etika dan kepeduliuan sosialnya. Sehingga muncul keputusan dan kebijakan yang jauh dari rasa kepedulian sosialnya. Pertanyaannya adalah apah betul para pimpinan itu tidak memiliki kepekaan terhadap masalah yang dihadapi masyarakat? Atau ada keraguan maupun ketakutan untuk bertindak karena tidak ada aturannya? Dengan tidak ada aturan formalnya, maka keputusan atau kebijakan sangat rentan akan tuduhan penyimpangan.
Berbagai kasus baru-baru ini, seperti penanggulangan busung lapar, wabah polio, flu burung dan bencana alam memerlukan keputusan pimpinan yang segera, didasari tanggung jawabnya distrata yang paling atas, yaitu keputusan yang mengedepankan etika dan kepedulian sosial, bukan menunggu adanya pengaturan formal (termasuk perintah dari tingkat yang lebih tinggi). Demikian juga kasus langkanya BBM diberbagai tempat ditanah air, disebabkan karena kuota anggaran subsidi yang telah habis, dan bukan semata-mata karena ketidak tersediaan BBM. Seorang pemimpin seharusnya mengambil keputusan yang paling baik untuk kepentingan masyarakat, bukan menunggu peraturannya. Ini adalah tanggung jawab dan resiko seseorang yang telah ditunjuk atau dipilih sebagai pemimpin. Yaitu mengambil keputusan. Tetapi ketakutan akan dituduhkannya melakukan penyimpangan (khususnya korupsi), menyebabkan kepentingan masyarakat dikesampingkan. Takut dengan upaya penegakkan hukum.
Sudah lebih dari satu dasawarsa kita menekankan pentingnya Emotional Intelligence (Daniel Goleman), yang kemudian biasa dikenal dengan EQ sebagai penyeimbang dari IQ. Berbagai program dan usaha memberikan arti dan makna terhadap emotional intelligence ini berkembang sangat cepat dan diikuti secara luas dan diberbagai strata masyarakat. Perhatikan saja perkembangan program Manajemen Qalbu  MQ dari AA Gym. Daniel H. Pink dalam A Whole New Mind, mengatakan bahwa L- Direct Thinking (IQ) penting tapi tidak cukup. R - Direct Thinking (EQ), khususnya pada tingkat pimpinan menjadi lebih dominan. Kesemua ini mendukung terciptanya manajemen berbasis CSR, dan menempatkan etika dan kepedulian sosial distrata teratas. Dan untuk ini tidak ada aturan formalnya.
Ketidak adaan pengaturan formal untuk menerapkan tanggung jawab etika dan kepedulian sosial inilah yang menyebabkan timbulnya keraguan dan keterlambatan mengambil keputusaan yang harusnya mendahulukan kepentingan masyarakat. Keterlambatan pengambilan keputusan, merupakan salah satu indikasi yang memicu berbagai jenis ketidak puasan dalam masyarakat, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk protes dan demonstrasi.
Diwaktu-waktu mendatang masih banyak masalah yang akan muncul, yang harus diatasi dengan keputusan yang cepat, yang didasari atas kepeduliaan sosial. Walaupun peraturan formal yang mendukung kebijakan tersebut tidak ada, tetapi para pemimpin harus menempatkan tanggung jawab kepedulian sosialnya ditempat teratas. Tanggung jawab ini harus dipahami juga sepenuhnya oleh jajaran penegak hukum. Seperti disebutkan diatas tidak semua kepentingan dan harapan masyarakat ada aturan formalnya. Sehingga penerapan unsur-unsur manajemen CSR ini, harus dapat diinternalisasikan dalam tugas penegak hukum, demi kepentingan masyarakat.
Sudah saatnya, bagi semua pihak, khususnya para elit di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, untuk bisa merumuskan berbagai pengertian dan kesepakatan (sebagai konvensi), agar budaya tanggung jawab etika dan kepedulian sosial para pemimpin tidak tereduksi atau tergerus oleh ketakutan karena tidak adanya pengaturan tertulis. Kita harapkan pemimpin-pemimpin kita berani mengambil keputusan demi kepentingan masyarakat. Jangan bimbang!
By Rahardi Ramelan.

Om Like's UPI

Om Like's UPI
Education Univercity Of Indonesia

Komen disini!!!

Tumpahkan saran dan pendapat mu!

Cari Blog Ini